Minggu, 24 Oktober 2010

PILIH : PENDETA atau PNS ?

PILIH : PENDETA atau PNS ?
(Sebuah Upaya Memahami Teori Probabilitas Ekonomi Politik Pekerja GKE)
Oleh Pdt. Yuprinadie, S.Th

A. Pengantar
Dalam politik Gereja, ada berbagai macam upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan segala sarana yang ada. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut selalu dimulai dari sebuah pemikiran yang matang dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan (probabilitas) yang akan dihasilkan oleh upaya tersebut (a result of probabilities). Tentulah perkiraan hasil ini memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan dan sertanya melaksanakan hasil tersebut. Dalam tulisan ini, saya akan membahas suatu fenomena yang terjadi dalam Gereja Kalimantan Evangelis (selanjutnya disebut GKE) yaitu para pendeta GKE, vikar GKE dan lulusan STT GKE yang mulai tertarik untuk masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebuah fenomena yang menurut penulis, didasarkan pada teori probabilitas dalam ekonomi politik gereja.

B. Mengapa PNS Menarik ?
Pertanyaan dalam bagian ini sungguh menggelitik bagi setiap pekerja dan calon pekerja GKE. Paling tidak ada empat (4) alasan utama yang membuat kecenderungan meningkatnya para pekerja GKE “hijrah” menjadi PNS :
1. Gaji dan tunjangan yang besar
Perlu diketahui bahwa standar gaji pekerja GKE berada jauh di bawah standar gaji PNS. Sebagai perbandingan, pada tahun 2010 ini, standar gaji GKE menggunakan standar gaji PNS tahun 2003. Demikian juga tunjangan yang didapat lebih banyak ketika menajdi PNS daripada ketika menjadi pekerja GKE. Ini hal pertama yang membuat para pekerja GKE tergiur untuk memilih “hijrah” menjadi PNS. Terlebih bagi pekerja GKE yang ada di pedalaman dengan pendapatan gaji minus dan tidak mencapai target seharusnya yang harus ia peroleh (penulis dalam bagian ini tidak bermaksud menafikan banyak pekerja GKE di pedalaman yang tetap bertahan sebagai pendeta).
2. Jaminan masa tua (pensiun) memadai
Menikmati masa tua dengan jaminan hidup yang memadai merupakan impian setiap orang. Gaji pensiun pekerja GKE dalam pengamatan penulis sangat kurang memadai untuk menikmati masa tua yang memerlukan dana yang tidak sedikit. Karena itu tidak mengherankan banyak para pensiun pekerja GKE yang masih ikut melayani walaupun kakinya sudah bergetar karena hampir tidak mampu berjalan lagi. Bahkan ada beberapa pensiun GKE yang harus berbisnis di luar sambil ikut pelayanan sebagai honorer di suatu jemaat. Ini sangat kontras dengan para PNS yang –dalam banyak kasus-- kehidupan masa pensiunnya cukup memadai.
3. Waktu dinas sedikit
Pendeta mempunyai jam kerja 24 jam sehari. Kapanpun dan dimanapun harus siap sedia dalam menjalani tugasnya. Sedangkan PNS (terutama guru dan kecuali dosen dan pegawai di dinas) paling banyak 5 – 6 jam sehari. Bahkan di beberapa tempat, waktu dinas PNS yang menjadi guru bisa dipercepat, terutama ketika hanya mengajar bidang studi yang diampunya. Selebihnya punya waktu luang untuk mengatur kehidupan rumah tangga di bidang yang lain.
4. Adanya peluang
Peluang untuk menjadi PNS cukup besar bagi pekerja GKE terutama di daerah Kalimantan Tengah yang banyak memerlukan guru agama dan penyuluh agama Kristen. Ditambah lagi dengan pengakuan negara terhadap lulusan STT GKE yang mampu berkompetisi dengan mutu yang bagus. Hal ini yang membuat GKE (terutama STT GKE) bagaikan simalakama, dimana di satu sisi dipandang bagus para pekerja GKE tidak dipandang rendah dalam kompetisi mencari pekerjaan, namun di sisi yang lain mengalami kerugian banyak para pekerja GKE yang menjadi PNS dan banyak lulusan STT GKE yang tidak memilih untuk menjadi pendeta. Inilah yang membuat penulis pernah mengandaikan para pendeta dalam istilah “banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih; dari sedikit yang dipilih itu sedikit lagi yang diutus; dari sedikit lagi yang diutus itu hanya beberapa orang yang tahan uji.” Berapa orang yang tahan uji itu? Entahlah..

C. Probabilitas Untuk Mencapai Tujuan
Alasan-alasan di atas membuka peluang-peluang kemungkinan (chances of probabilities) bagi para pekerja GKE untuk “melirik” menjadi PNS. Berbagai pertimbangan seperti sulitnya mendapatkan uang di pedalaman, sulitnya menghidupi keluarga dengan gaji yang kurang, bahkan sulitnya medan yang dihadapi serta menjadi langganan label “pekerja GKE pedalaman” yang gersang, mungkin saja menjadi pertimbangan menyeluruh yang akan melenturkan loyalitas para pekerja kepada GKE. Karena itu, para pekerja GKE kemudian mempertimbangkan kemungkinan untung – rugi (pertimbangan ekonomis) menjadi pekerja GKE atau menjadi PNS. Dalam banyak kasus, ketika orang-orang sudah mempertimbangkan hal tersebut, maka sebagian besar memutuskan untuk menjadi PNS. Dengan pengambilan keputusan ini, maka dilakukanlah berbagai persiapan-persiapan dengan berbagai macam metode pendekatan yang dilakukan.
Lain halnya dengan para pekerja GKE yang hidup di perkotaan dan berada di tempat yang mapan. Mereka tidak (atau belum) berpikir untuk menjadi PNS karena pendapatannya bisa lebih besar dari PNS. Dan tentu saja, karena merasa sangat mapan di tempat tersebut ia akan berusaha mempertahankan posisinya agar ia tidak dipindahkan dari tempat tersebut. Dan apabila ia memang harus dipindahkan dari tempat tersebut, maka ia akan memilih menjadi pendeta non organik. Seringkali, disinilah yang menjadi akar kesenjangan dan kecemburuan sosial antara pendeta di perkotaan dan pendeta di pedalaman, antara pendeta di lahan basah dan pendeta di lahan kering, antara pendeta di tanah Kanaan dan pendeta di tanah Mesir.

D. Metode Pendekatan yang Dilakukan
Metode pendekatan yang dilakukan disini berarti suatu upaya politis para pekerja atau calon pekerja GKE dalam menggoalkan keputusannya untuk menjadi PNS dalam hubungannya dengan GKE sebagai sebuah organisasi dimana ia bekerja. Paling tidak ada tiga (3) metode yang dilakukan:
1. Beritahu sebelum mengikuti tes
Ada pekerja GKE yang memberitahukan keputusannya untuk menjadi PNS sebelum ia mengikuti tes penerimaan CPNS kepada GKE (MS, MR, atau MJ dimana ia bertugas). Orang-orang ini biasanya sudah yakin 100% bahwa mereka akan diterima sebagai CPNS. Mungkin saja telah dilakukan lobi-lobi dengan MS GKE dan tempat-tempat penerimaan CPNS tersebut, atau memang melihat peluang besar di suatu tempat yang benar-benar memerlukan dirinya, atau bisa keduanya. Orang-orang ini mempunyai rasa percaya diri (PD) yang luar biasa tingginya sehingga ia berani memberitahukan kepada GKE. Mungkin juga karena beban moral untuk tidak “membohongi” GKE dalam keputusan yang telah diambilnya. Karena tentu saja konsekuensi dari keputusan itu telah diketahui bersama bahwa pekerja GKE yang mengambil keputusan untuk menjadi PNS (dalam bahasa peraturan GKE “dinas/instansi lain”) tanpa ijin tertulis dari BPH MS GKE, jabatannya sebagai pendeta akan dicabut (Peraturan GKE No. 4 Tahun 2008 Pasal 6).
2. Beritahu setelah lulus tes
Ada juga pekerja GKE yang memberitahukan keputusannya untuk menjadi PNS setelah ia mengikuti tes penerimaan CPNS kepada GKE (MS, MR, atau MJ dimana ia bertugas). Orang ini bukanlah seorang pemberani dan sebenarnya masih ragu-ragu dengan keputusannya sendiri. Ia mau menyelamatkan dirinya sendiri agar ia tidak dicabut kependetaannya sebelum hasil kelulusan tes diumumkan dan ia juga bisa mengikuti tes penerimaan CPNS. Apabila lulus tes, maka ia akan memberitahukan GKE bahwa ia mengajukan diri berhenti sebagai pekerja GKE. Tetapi apabila tidak lulus tes, maka ia tidak perlu memberitahukan kepada GKE dan tetap menjadi pekerja GKE. Metode kedua ini yang seringkali digunakan oleh para pekerja GKE yang mau menjadi PNS.
3. Tidak memberitahu sama sekali
Ini metode dan tipe orang-orang misterius dan mungkin saja tingkat loyalitasnya rendah. Karena, baik itu lulus maupun tidak lulus tes ia tidak akan memberitahukan siapa-siapa atau GKE sebagai tempat ia bekerja. Ia tidak memikirkan beban moral terhadap GKE, mau dikeluarkan atau tidak sebagai pekerja GKE. Apabila ia lulus, biarlah GKE dengan sendirinya mengetahuinya, tidak usah diberitahukan. Mungkin bila GKE nanti mengetahuinya, maka ia akan menerima surat pemberhentian sebagai pekerja GKE, namun ia sudah menjadi PNS. Itulah sebabnya seringkali di almanak nas GKE kita temukan orang-orang yang sudah menjadi PNS masih tercatat sebagai pekerja GKE.

E. Evaluasi
Patut disadari bahwa, rupanya makna jabatan gerejawi “PENDETA GKE” pada masa kini mulai tereduksi oleh pertimbangan probabilitas ekonomi politik para pekerja GKE yang ingin dan sudah menjadi PNS. Dan bahwa rupanya, akar permasalahan ini muncul karena kebutuhan hidup dan kerangka berpikir (main set) para pekerja GKE yang melihat-merasakan-mengalami kerasnya kehidupan sebagai pekerja GKE yang harus hidup minus di tempat yang minus pula. Tentu saja, sebagai warga dan pengurus GKE, kita tidak bisa lama berdiam diri dengan kecenderungan yang semakin menguat dari tahun ke tahun ini. Perlu ada solusi kongkret untuk menjawab permasalahan tersebut di atas.
Setiap orang, termasuk pekerja GKE, berhak mendapatkan kesetaraan dan jaminan hidup yang layak dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan Tuhan dan pekerja GKE. Pendeta sebagai seorang yang dipanggil-dipilih-diutus oleh Tuhan melalui GKE melakukan tugasnya secara profesional dan bergantung penuh dalam kuasa berkat Allah sebagai penjamin hidupnya. Karena “…seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:10). Pendeta juga adalah makhluk Tuhan yang mampu berpikir secara rasional untuk mencari cara menafkahi hidupnya dan keluarganya sehingga bisa hidup layak dan memadai.
Bilamana seorang Pendeta merasa kehidupannya dalam kehidupan minus, umumnya Pendeta akan mencari usaha lain untuk mencukupi kebutuhannya. Misalnya berdagang/berbisnis, bertani, dan berkebun. Disinilah berlaku tindakan etis sebagai seorang pendeta yaitu mendahulukan tugasnya sebagai pendeta daripada kegiatan-kegiatan sebagaimana halnya di atas. Atau bahkan, mengutip tulisan Pdt. Kinurung M.M., M.Th, M.A tentang Pertimbangan Etis Perspektif Etika Ekonomi: Pendeta dan Bisnis (Uang) dalam Ranah GKE, bahwa :

“…pendeta dipersilakan berbisnis, namun hasilnya dicatat dalam kas jemaat dan diperuntukan bagi pelayanan gereja. Dalam kerangka ini kita bisa menerima bahwa lembaga gereja/jemaat boleh berbisnis (jasa, rumah sakit, perkebunan, dll), karena keuntungannya masuk kas gereja dan sepenuhnya bagi pelayanan. Yang perlu dicatat adalah nilai keadilan dan kasih harus menjadi pertimbangan gereja dalam berbisnis. Mau tidak mau, keadilan dan kasih seorang pendeta atau lembaga gereja harus berdampak bagi jemaat dan keluarganya.”

Pdt. Kinurung mendasarkan pertimbangan ini dengan kehidupan Paulus yang adalah seorang pebisnis tenda dan memberikan hasil bisnisnya untuk kepentingan penginjilan.
Permasalahan gaji yang tidak merata diterima oleh para pekerja GKE diberbagai tempat berbeda di Pulau Kalimantan juga menjadi pemicu “hijrah”nya para pekerja GKE menjadi PNS, walaupun MS GKE telah memberikan SK gaji yang merata dan sama. Ada pekerja GKE yang menerima gaji penuh bahkan dengan tunjangan yang besar karena tempat yang dilayaninya adalah jemaat yang kuat dan mampu. Ada pula pekerja GKE yang menerima hanya separuh gaji atau bahkan kurang dan tanpa tunjangan karena tempat yang dilayaninya adalah jemaat yang lemah dan belum mampu menggaji seorang pekerja GKE. Pada kelompok kedua inilah yang rawan terjadinya “hijrah” tersebut.
Melihat kenyataan di atas, ada baiknya kita memikirkan sebuah cara untuk pembayaran gaji dan tunjangan pendeta yang merata dan sama di seluruh kawasan GKE. Mungkin saja kita melakukan pemusatan pembayaran gaji melalui Bidang Perbendaharaan MS GKE. Artinya seluruh pembayaran gaji dan tunjangan pekerja GKE diatur dan dibayar oleh MS GKE. Sehingga terjadi pemerataan pendapatan gaji seluruh pekerja GKE. Keuntungan dari metode ini adalah MS GKE dapat mengontrol dan menjamin terpenuhinya pembayaran gaji seluruh pekerja GKE. MS GKE juga dapat mengontrol pembayaran iuran pensiun seluruh pekerja GKE karena gaji yang diberikan bisa langsung dipotong untuk pembayaran iuran pensiun pekerja GKE. Tentu saja metode ini ada konsekuensinya. Semua resort GKE harus menyetor iuran untuk pembayaran gaji yang diatur dengan prosentase kuat dan lemahnya suatu resort. Resort yang kuat tentu saja memberika iuran gaji lebih besar dari resort kuat. Inilah salah satu program topang-menopang yang kongkret bagi pekerja GKE.
Bisa juga GKE meniru pembayaran gaji GPIB yang menggunakan metode pembayaran gaji dengan sharing pembayaran gaji antara MS dan MR. Artinya ada prosentase pembayaran gaji yang harus dibayar oleh MS GKE dan ada prosentase pembayaran oleh MR GKE tempat pekerja GKE itu melayani. Misalnya dengan perbandingan MS dan MR 50:50 atau 70:30. Metode ini untuk menghindari beratnya beban salah satu pihak baik itu MS GKE maupun MR GKE.
Solusi terakhir adalah menempatkan pendeta sebagai seorang Lewi dalam PL. Pendeta mengumpulkan persembahan persepuluhan dari jemaat yang sepersepuluhnya disetor ke MR GKE dan kumpulan sepersepuluhan dari jemaat-jemaat yang dikumpulkan MR GKE kemudian sepersepuluhannya disetor ke MS GKE. Sepersepuluhan yang dikumpul oleh MS GKE dari MR-MR GKE tersebut selanjutnya dikelola oleh GKE untuk mencukupi gaji dari pekerja-pekerja GKE yang masih kurang di resort-resort lemah. Konsekuensinya adalah seluruh pekerja GKE mengajarkan dengan sangat dan tanpa henti pentingnya persembahan sepersepuluhan tersebut kepada jemaat-jemaat. Karena patut diketahui bahwa jemaat GKE dan juga pekerja GKE sendiri pada umumnya belum menyadari sepenuhnya akan pentingnya memberikan persembahan sepersepuluhan tersebut.

F. Penutup
Beberapa hal yang telah dipaparkan dalam tulisan ini adalah suatu upaya untuk menggambarkan betapa sekarang begitu rawannya GKE akan kenyataan “hijrah”nya para pekerja GKE untuk menjadi PNS. Bahwa penting saat ini GKE perlu segera mengambil sikap dan solusi untuk mengatasi fakta ini. Bahwa GKE saat ini dalam masa-masa krisis pekerja yang mengakibatkan domba-domba rawan akan lari dan mencari rumput yang lebih segar. Dan bahwa GKE tidak dapat lagi melakukan pembiaran terhadap fakta ini. Sebuah tindakan yang mendesak dan penad harus diupayakan agar para pekerja GKE tetap sebagai pekerja yang loyal kepada GKE dimana ia bekerja dan melayani. Dan agar seluruh warga GKE tetap menjadi anggota GKE, domba-domba yang telah dititipkan Allah kepada Gereja Kalimantan Evangelis, sebuah gereja yang besar di Pulau Kalimantan.

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PLURALIS DI GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PLURALIS DI GEREJA KALIMANTAN EVANGELIS
(Oleh Yuprinadie G. Mihing)

Bila anda melihat judul di atas, bisa jadi bukan judul yang menarik, bahkan bisa dibilang sudah basi. Karena Pendididikan Agama Kristen Pluralis (PAK Pluralis) sudah dibahas sejak jaman dahulu oleh para pakar pendidikan agama kristen. Namun dalam kenyataannya, perlu diperhatikan bahwa apa yang dibahas oleh para pakar itu hingga kini belum dapat diimplementasikan dengan baik dan sempurna pada aras lokal (jemaat). Mengapa? Karena, menurut penulis, pada prinsipnya bahasan yang dilalukan para pakar terlalu umum dan tidak mampu menjawab kebutuhan lokal yang berbeda-beda teks dan konteksnya, termasuk di Gereja Kalimantan Evangelis (GKE). Inilah yang membuat penulis terdorong untuk menulis judul jaman dulu (jadul) ini dalam upaya mencari jawab pada sebuah pertanyaan “PAK Pluralis yang bagaimana yang bisa diterapkan di GKE?”
PAK masa kini tidak dapat diandaikan hanya sebagai memberikan pendidikan agama kristen di tiap-tiap sekolah atau universitas. PAK harus diandaikan sebagai seluruh upaya kristiani yang bertujuan untuk memuliakan Allah. Seluruh upaya itu yang menggambarkan kemampuan seluruh penganut agama Krsiten dalam mengejewantahkan iman kristianinya. Hal ini bukanlah tanpa dasar. Segenap umat kristiani mendasarkan perlakuan iman pemuliaan ini karena imannya pada Yesus Kristus yang telah memberikan contoh dan teladan dalam mengembangkan upaya pemuliaan Allah dalam seluruh kehidupan-Nya. Bagi Yesus, –mengutip Hope S. Antone dalam bukunya Religious Education in Context of Plurality and Pluralism— kesetiaan kepada Allah tidak hanya berarti mengetahui dan mengikuti ajaran para pemuka agama, tetapi juga tindakan kasih yang baik bagi Allah melalui kasih yang tanpa pamrih bagi sesama. Kesetiaan yang nyata kepada Allah berarti mengetahui, melakukan dan hidup sesuai dengan kehendak Allah untuk keadilan, kebaikan dan kedamaian. Inilah misi Kristus (Missio Christi) yang tergambar dalam pendidikan agama Kristen. Misi Kristus ini merupakan upaya Allah dalam mewujudkan misi-Nya di tengah-tengah umat manusia (Missio Dei) yaitu untuk mewujudkan damai sejahtera (syallom) Allah di bumi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perwujudan damai sejahtera Allah bagi umat manusia merupakan wujud kongkret pendidikan agama kristen di jemaat atau gereja.
Kesimpulan di atas menjadi dasar pemikiran dalam tulisan ini. Bila Allah menghendaki damai sejahtera itu berlaku bagi segenap umat manusia, Maka seluruh upaya kristiani yang bertujuan untuk memuliakan Allah (pengertian dari PAK) haruslah terwujud dan tergambar dalam damai sejahtera yang dikehendaki Allah tersebut. Dalam kalimat sederhana dapat dikatakan bahwa, Allah yang menghendaki damai sejahtera di bumi menghendaki seluruh umat kristiani untuk menciptakan damai sejatera itu di tengah-tengah dunia. Itu berarti bahwa, sebenarnya tugas pokok seorang Kristen adalah menciptakan damai sejahtera di mana ia berada dan ditempatkan oleh Allah.
Plural menggambarkan keragaman yang ada di bumi. Baik itu keragaman agama, suku, budaya, maupun adat istiadat, bahkan bisa juga menggambarkan keragaman karakter individu dalam suatu kelompok. Keragaman teks dan konteks ini membuat dunia menjadi berwarna. Ketika agama Kristen bertemu dengan agama-agama yang lain, maka terjadilah upaya dialog yang berusaha menciptakan damai sejahtera Allah di bumi. Demikian juga bagi GKE, kenyataan plural yang ada di bumi Kalimantan haruslah mendasarkan diri pada pewujudan damai sejahtera Allah di bumi Kalimantan. PAK Pluralis di GKE haruslah dipandang sebagai seluruh upaya GKE yang bertujuan untuk pemuliaan Allah dengan cara menciptakan damai sejahtera Allah di bumi Kalimantan.
Kelihatannya kalimat di atas sangat mudah. Namun pengimplementasiannya tidaklah mudah. Seluruh pengurus dan warga GKE diundang untuk menciptakan dan menghadirkan damai sejahtera itu di bumi Kalimantan. Kuncinya adalah, mulailah dengan menciptakan damai sejahtera itu pada diri GKE terlebih dahulu. Barulah GKE menghadirkan damai sejahtera itu di bumi Kalimantan. Karena, bagaimana GKE mau menghadirkan damai sejahtera itu bagi orang lain kalau di dalam dirinya sendiri belumlah tercipta damai sejahtera? Karena bila demikian, maka GKE melecehkan dirinya sendiri, sebuah gereja yang besar di Kalimantan hanya besar omongannya saja tapi kecil tindakannya. GKE menjadi bahan gossip murahan ketika sesama pengurus bertengkar memperebutkan tempat yang nyaman. GKE menjadi bahan pergunjingan ketika sesama warga jemaat bertengkar karena masalah keuangan. Bahkan GKE semakin “panas” ketika di dalam keluarga GKE selalu terdengar makian dan perang keluarga yang tidak pernah terselesaikan. Bila demikian adanya, siapakah yang tertarik untuk menjadi anggota warga GKE? Bahkan lebih besar lagi, siapakah yang tertarik untuk menjadi anggota warga Kerajaan Allah? Tentu, tidak ada.
Karena itu, menurut penulis, GKE haruslah belajar berbenah diri untuk menciptakan ketentraman berjemaat. GKE haruslah berjiwa besar untuk merombak hal-hal yang keliru yang selama ini dipertahankan. GKE haruslah berani mereformasi dirinya karena GKE adalah gereja reformis yang harus selalu direformasi (ecclesia reformata semper reformanda est). GKE haruslah keluar dari daerah nyaman (comfort zone) untuk menggapai orang-orang yang tidak nyaman (uncomforted person) oleh kerasnya kehidupan ini seperti orang miskin, tertindas, terpinggirkan dan terabaikan. Seluruh warga GKE menciptakan damai sejahtera di dalam kehidupan keluarganya, lingkungannya, dan jemaatnya. Seluruh pengurus GKE berjuang dalam pelayanan yang murni untuk memimpin GKE menjadi gereja yang penuh damai sejahtera. Demikianlah GKE menjadi gereja yang besar dan disegani. Gereja yang berkarya dan berbuah. Gereja yang berpihak pada yang lemah. Gereja yang menciptakan dan menghadirkan damai sejahtera Allah. Inilah inti dari PAK Pluralis di GKE.

PARTNERS IN OBEDIENCE

PARTNERS IN OBEDIENCE
(Teman – teman Dalam Ketaatan)


Dalam situasi yang semakin berkembang tiap-tiap hari, situasi perkembangan gereja kadang maju dan mundur. Namun situasi ini tidaklah menghalangi gereja-gereja di dunia untuk melaksanakan misi pelayanan yang telah digariskan Yesus pada mulanya. Namun perlu disadari bahwa dalam kekinian, gereja-gereja mulai pada keangkuhan diri, bersaing secara tidak sehat yang mengakibatkan penghinaan yang besar pada tubuh Kristus, Mengapa? Karena gereja-gereja sebagai anggota tubuh Kristus telah menodai keutuhan tubuh tersebut dengan keangkuhan yang mengakibatkan perpecahan antargereja. Dimanakah kasih Kristus dalam perpecahan ini? Tidak ada! Malahan kebencian yang timbul antarmurid Kristus. Inikah yang disebut dengan “orang Kristen”? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan sinis akan realita “broken home” tersebut. Inilah yang disebut dengan “penghinaan” terhadap tubuh Kristus. Mari kita mengingat kembali (remind) tentang misi yang dicetuskan pertama kali oleh badan misi dunia, yaitu menempatkan gereja-gereja sebagai teman-teman dalam ketaatan (partners in obedience). Semua gereja adalah teman, yang bersatu dan taat dalam Kristus untuk membangun tubuh Kristus yang sempurna.